Penelitian Sejarah
A. Metode dan Metodologi
Pengertian
metode dan metodologi mempunyai hubungan erat meskipun tetap ada perbedaan.
Pengertian metode pada umumnya adalah menurut kamus Webster’s Third New
International Dictionary of the English Language (Sjamsuddin, 2007, hal.
12-13):
- Suatu prosedur atau proses untuk mendapatkan suatu objek
- Suatu disiplin atau sistem yang acapkali dianggap sebagai suatu cabang logika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan untuk penyidikan ke dalam atau eksposisi dari beberapa subjek.
- Suatu prosedur, teknik, atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis yang dipakai oleh atau yang sesuai untuk suatu ilmu (sains), seni, atau disiplin tertentu.
- Suatu rencana sistematis yang diikuti dalam menyajikan materi untuk pengajaran.
- Suatu cara memandang, mengorganisasi, dan memberikan bentuk dan arti khusus pada materi-materi artistik: 1) suatu cara, teknik, atau proses dari atau untuk melakukan sesuatu; 2) suatu keseluruhan keterampilan-keterampilan (a body of skills) atau teknik-teknik.
Sementara
menurut kamus The New Lexicon (1989:628) dalam (Sjamsuddin, 2007, hal. 14)
memberikan gambaran tentang pengertian metodologi yaitu suatu cabang filsafat
yang berhubungan dengan ilmu tentang metode atau prosedur; suatu sistem tentang
metode-metode dan aturan-aturan yang digunakan dalam sains.
Berkaitan
dengan Sejarah, Sartono Kartodidjo dalam (Sjamsuddin, 2007, hal. 14) membedakan
metode sebagai bagaimana memperoleh pengetahuan (how to know) dan metodologi
sebagai mengetahui bagaimana harus mengetahui (to know how to know), sehingga
dalam metode sejarah adalah bagaimana mengetahui sejarah dan metodologinya
adalah mengetahui bagaimana mengetahui sejarah. Pendapat lain mengenai metode
sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik,
interpretasi, dan penyajian sejarah (Kuntowijoyo, 1995, hal. xii). Dari
beberapa definisi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa metode sejarah
merupakan suatu metode yang digunakan dalam proses penelitian terhadap
sumber-sumber masa lampau yang dilakukan secara kritis-analitis dan sistematis
dan disajikan secara tertulis.
B. Fakta Sejarah
Fakta
adalah hasil dari seleksi data yang terpilih. Fakta menunjukkan terjadinya
suatu peristiwa di masa lampau. Fakta berasal dari bahasa latin, factus dan
facerel, yang artinya selesai atau mengerjakan. Fakta sejarah adalah fakta –
fakta yang berhubungan langsung dengan peristiwa sejarah yang kita teliti. F.
J. Tigger mendefinisikan fakta adalah sebagai hasil penyelidikan secara kritis
yang ditarik dari sumber – sumber dokumenter (Sidi Gazalba, 1981).
Sementara
Louis Gottchalk mengartikan fakta sebagai suatu unsur yang dijabarkan secara
langsung atau tidak langsung dari sumber sejarah yang dipandang kredibel,
setelah diuji secara seksama dengan metode sejarah. Dari pandangan sejarah itu
menunjukkan bahwa fakta dalam sejarah adalah rumusan atau kesimpulan yang
diambil dari sumber sejarah atau dokumen. Fakta sejarah dibagi menjadi fakta
lunak, fakta keras, inferensi dan opini. Berikut adalah penjelasan
masing-masing
1. Fakta Lunak
Fakta lunak merupakan fakta yang masih perlu dibuktikan dengan
dukungan fakta – fakta lain. Para sejarawan melalui penelitian sumber – sumber
sejarah mencoba mengolah sehingga bisa dimengerti. Tetapi bisa saja bahwa apa
yang dianggap sebagai fakta belum tentu diterima oleh orang lain, sehingga
tidak jarang masih mengundang perdebatan. Contohnya peristiwa supersemar
merupakan fakta lunak karena masih dalam perdebatan.
2. Fakta Keras
Fakta keras adalah fakta – fakta yang biasanya sudah diterima
sebagai sesuatu peristiwa yang benar, yang tidak lagi diperdebatkan. Fakta ini
sering disebut “fakta keras”, fakta yang sudah mapan (established) dan tidak
mungkin dipalsukan lagi. Contohnya peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan
faakta yang tidak bisa diubah lagi.
3. Inferensi
Inferensi merupakan ide – ide sebagai benang merah yang
menjembatani antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Ide atau gagasan
ini dapat dimasukkan dalam kategori fakta, tetapi masih cukup lemah. Karena
inferensi tidak lebih dari suatu pertimbangan logis yang menjelaskan pertalian
antara fakta – fakta.
4. Opini
Opini mirip dengan inferensi, tetapi opini ini lebih bersifat
pendapat pribadi / perorangan. Karena pendapat pribadi maka tidak didasarkan
pada konsideran umum. Sedangkan salah satu benntuk informasi sejarah, opini
merupakan penilaian (value judgment) atau sangkaan pribadi.
Berdasarkan
bentuknya fakta sejarah dibagi menjadi 3, yaitu : fakta mental, fakta social,
dan artefak
1. Fakta mental
Fakta
mental adalah kondisi yang dapat menggambarkan suasana pikiran, perasaan batin,
kerohanian, dan sikap yang mendasari suatu karya cipta. Jadi fakta mental
bertalian dengan perilaku, ataupun tindakan moral manusia yang mampu menentukan
baik buruknya kehidupan manusia, masyarakat, dan Negara misalnya, mental orang
Aceh yang keras dan tak mudah menyerah, mengakibatkan pihak Belanda kewalahan
dalam menghadapi perlawanannya.
2. Fakta Sosial
Fakta
sosial adalah fakta sosial yang berdimensi sosial, yakni kondisi yang mampu
menggambarkan tentang keadaan sosial, suasana zaman dan sistem kemasyarakatan,
misalnya interaksi (hubungan)antarmanusia, contoh pakaian adat, atau pakaian
kebesaran raja. Jadi fakta sosial berkenaan dengan kehidupan suatu masyarakat,
kelompok masyarakat atau suatu Negara yang menumbuhkan hubungan sosial yang
harmonis serta komunikasi yang terjaga baik. Misalnya, bangunan arsitektur
Eropa di kota Indonesia. Ini menandakan Bahwa di kota bersangkutan pernah di
tempati oleh orang-orang asal Eropa yang membangun rumah yang beraksitektur dan
tidak jauh beda dengan negara asalnya.
3. Artefak
Adalah
semua benda baik secara keseluruhan atau sebagian hasil garapan tangan manusia,
contohnya candi, patung, dan perkakas.
C. Penelitian Sejarah
Menurut
Thomas Jefferson, dalam penulisan sejarah. Penelitian sejarah adalah salah satu
penelitian mengenai pengumpulan dan evaluasi data secara sistematik, berkaitan
dengan kejadian masa lalu untuk menguji hipotesis yang berhubungan dengan
faktor-faktor penyebab, pengaruh atau perkembangan kejadian sekarang dan
mengantisipasi kejadian yang akan datang (Sukardi, 2003, hal. 203). Menurut
(Sjamsuddin, 2007, hal. 13) penelitian sejarah berhubungan dengan suatu
prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam penyidikan suatu disiplin
ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang akan diteliti
(Sjamsuddin, 2007, hal. 13). Menurut Sjamsuddin (2007, hal. 89) paling tidak
ada enam tahap yang harus ditempuh dalam penelitian sejarah yaitu:
- Memilih topik yang sesuai
- Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik
- Membuat catatan tentang apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung dengan membuat system card, fotokopi, komputer dan internet.
- Mengevaluasi secara kritis semua bukti yang telah dikumpulkan (kritik sumber)
- Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disajikan sebelumnya.
- Menyajikannya dalam suatu cara yang menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin.
Penelitian
sejarah pada dasarnya adalah penelitian terhadap sumber-sumber sejarah,
merupakan implementasi dari tahapan kegiatan yang tercakup dalam metode sejarah
yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Tahapan historiografi
merupakan kegiatan penulisan hasil penelitian. Gambar 5.1 menggambarkan metode
Sejarah sebagai berikut:
a. Heuristik
Heuristik
adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Berhasil tidaknya
pencarian sumber, pada dasarnya tergantung dari wawasan peneliti mengenai
sumber yang diperlukan dan keterampilan teknis penelusuran sumber (Sobana Hs,
2008, hal. 4). Menurut Carrard (1992) dan Gee (1950) dalam(Sjamsuddin, 2007,
hal. 86) heuristik (heuristics) merupakan sebuah kegiatan mencari sumber-sumber
untuk mendapatkan data-data/materi sejarah/evidensi sejarah. Tahap heuristik
ini banyak menyita waktu, biaya, tenaga, pikiran dan perasaan karena apabila
kita mendapatkan yang dicari maka serasa mendapatkan harta karun, sementara
jika sudah bersusah payah mencari sumber tetapi tidak berhasil maka rasa
frustasi akan muncul.
Sumber-sumber sejarah dapat
ditemukan di perpustakaan, arsip dan museum, dimana kekayaan perpustakaan,
arsip dan museum dapat diketahui dari petunjuk-petunjuk, indeks, bibliografi,
katalog, majalah, dan jurnal serta brosur yang meminformasikan kepada
sejarawan, peneliti, pengunjung apa saja yang tersedia dalam perpustakaan,
arsip atau museum itu yang berhubungan dengan literatur atau dokumen sejarah.
Pengetahuan praktis mengenai petunjuk-petunjuk atau indeks-indeks ini dan
bagaimana menggunakan perpustakaan dan arsip adalah syarat mutlak bagi penelitian
sejarah. Pengetahuan tersebut muncul biasanya selama proses pengumpulan materi
itu berlangsung (Sjamsuddin, 2007, hal. 121).
b. Kritik
Kritik
adalah sebuah kegiatan pengujian secara kritis terhadap sumber-sumber sejarah
yang telah ditemukan, untuk memperoleh otentisitas dan dan kredibilitas. Tujuan
utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta.
Setiap data sebaiknya dicatat dalam lembaran lepas (sistem kartu), agar
memudahkan pengklasifikasiannya berdasarkan kerangka tulisan.
Kritik
sumber dilakukan setelah peneliti berhasil mengumpulkan sumber-sumber dalam
penelitiannya dan tidak menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis
pada sumber-sumber tersebut dan menyaringnya secara kritis terutama sumber
pertama (Sjamsuddin, 2007, hal. 131). Kritik sumber dilakukan dilakukan baik
terhadap bahan materi maupun terhadap substansi (isi) sumber. Dalam metode
sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan kritik internal.
1)
Kritik eksternal
Kritik
eksternal adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek
luar dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007, hal. 132). Sebelum sumber-sumber
sejarah dapat digunakan dengan aman, menurut Lucey (1984) ada lima pertanyaan
yang harus dijawab dengan memuaskan (Sjamsuddin, 2007, hal. 133) yaitu:
- Siapa yang mengatakan?
- Apakah kesaksian tersebut telah diubah?
- Apa yang dimaksud sumber dengan kesaksiannya?
- Apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata (witness) yang kompeten (mengetahui fakta yang sebenarnya)
- Apakah saksi mengatakan fakta yang sebenarnya (truth) dan memberikan fakta yang diketahui?
Fungsi
kritik eksternal adalah memeriksa sumber sejarah atas dasar dua hal pertama dan
menegakkan sedapat mungkin otentisitas dan integritas dari sumber tersebut.
Kritik eksternal juga harus memperhatikan otentisitas (authenticity), deteksi
sumber palsu, integritas dan penyuntingan. Sebuah sumber sejarah (catatan
harian, surat, buku) adalah otentik atau asli jika itu benar-benar produk dari
orang yang dianggap sebagai pemiliknya (atau dari periode yang dipercayai
sebagai masanya jika tidak mungkin menandai pengarangnya).
Langkah
yang dilakukan dalam menegakkan otentisitas adalah mengidentifikasi penulis.
Kadang-kadang penulis tidak dapat ditandai karena banyak dokumen dan penerbitan
pertama-tama muncul tidak menggunakan nama samaran dan penelitian kemudian
dapat saja berhasil mengidentifikasi beberapa penulisnya. Belum ada aturan yang
benar-benar baku untuk memutuskan berapa banyak yang harus dibuktikan sebelum
sebuah sumber dapat diterima sebagai sesuatu yang asli, namun semakin banyak
yang diketahui tentang dokumen tersebut, semakin banyak pula yang dapat
digunakan oleh peneliti dari sumber tersebut (Sjamsuddin, 2007, hal. 134-137).
Keahlian
dalam mendeteksi sumber asli diperlukan mengingat kecanggihan teknologi modern
yang memudahkan para pemalsu dokumen untuk melakukan operasinya. Banyak dokumen
rahasia negara terutama yang sedang konflik dijajakan oleh para pemalsu kepada
pihak yang berkepentingan dikatakan asli padahal palsu (Sjamsuddin, 2007, hal.
137). Dalam mendeteksi sumber maka haru diperhatikan kriteria fisik (jenis
kertas, tinta, cat), garis asal usul dokumen, tulisan tangan, dan isi dari
sumber.
Setelah
mendeteksi sumber maka selanjutnya harus diketahui integritasnya. Integritas
disini dapat diartikan bahwa sumber mempunyai otentisitas yang tetap jika
kesaksian yang asli tetap terpelihara tanpa ubah-ubahan mensikipun
ditransmisikan dari masa ke masa (Sjamsuddin, 2007, hal.140). Ubahan dapat
berupa penambahan, pengurangan, penghilangan atau penggantian dalam teks asli
dan ini mungkin saja disengaja atau tidak disengaja dalam sumber asli atau
dalam salinan aslinya. Ubahan yang sering terjadi diakibatkan oleh kekeliruan
dalam menyalin sehingga secara substansional dapat mengubah arti sebuah teks.
Untuk mencegah kekeliruan tersebut perlu dilakukan kolasi yaitu membandingkan
manuskrip asli dengan salinan oleh seseorang yang membaca naskah asli dan
sejarawan mengikuti naskah salinannya. Jika integritasnya terjaga maka dapat
dikatakan fakta dari kesaksian (fact of testimony) telah ditegakkan bagi
sejarawan (Lucey dalam (Sjamsuddin, 2007, hal. 140)).
Dokumen
yang diedit secara sembarangan dapat merusak banyak sumber sejarah. Dokumen
memang harus diedit sebagaimana aslinya dan jika ada perubahan, penyunting
harus memberitahukan pembacanya. Aplikasi dari aturan-aturan sederhana ini
menuntut kerajinan yang diteliti dan penyunting dapat menggunakan tanda-tanda
tertentu dalam mengoreksi kesalahan ejaan, istilah, ataupun nama yang dibuat
oleh penulis asli (Sjamsuddin, 2007, hal. 143).
2). Kritik Internal
Kritik
internal merupakan kebalikan dari kritik eksternal dengan menekankan aspek
dalam yaitu isi dari sumber, yaitu kesaksian (testimony) (Sjamsuddin, 2007,
hal. 143). Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalu kritik eksternal, tiba
giliran sejarawan untuk mengadakan evaluasi terhadap kesaksian tersebut apakah
reliable atau tidak. Hal yang perlu diperhatikan dari kritik internal adalah:
a) Arti sebenarnya dari
kesaksian
Sejarawan
harus menetapkan arti sebenarnya dari perkataan yang dikemukakan oleh saksi
apakah diartikan harfiah atau sesungguhnya (real) . Arti harfiah adalah
pengertian gramatikal yang berarti menurut huruf yang tertulis. Sementara arti
yang sesungguhnya adalah arti yang tersirat dari balik huruf yang ditulis.
Mungkin dalam sebuah tulisan sejarah sumber tersebut menggunakan kalimat
metafora sehingga peneliti harus tahu arti yang sesungguhnya.
b) Kredibilitas kesaksian.
Kredibilitas
(keterpercayaan) seorang saksi harus memperhatikan bagaimana kemampuan saksi
untuk mengamati, bagaimana kesempatannya untuk mengamati teruji dengan benar
atau tepat, bagaimana jaminan bagi kejujurannya, bagaimana kesaksiannya itu
dibandingkan dengan saksi-saksi yang lain. Dalam membandingkan satu sumber
dengan sumber-sumber lain untuk kredibilitas, terdapat tiga kemungkinan yaitu
sumber-sumber lain dapat cocok dengan sumber yang dibandingkan, berbeda dengan
sumber atau malah tidak menyebutkan apa-apa (Sjamsuddin, 2007, hal. 151-152)
c) Sumber-sumber yang
sesuai (concurring sources)
Sumber
dikatakan kredibel apabila sumber yang lain sesuai dengan kesaksiannya baik
secara independen maupun dependen. Penyesuaian kesaksian dari saksi independen
dan dapat dipercaya yang dapat menegakkan kredibilitas suatu sumber tertentu.
d) Sumber-sumber yang
berbeda (disseting sources).
Perbedaan
kesaksian sumber lain terhadap satu sumber tidak begitu saja dapat membatalkan
kesaksian dari sumber yang dibicarakan. Tetapi tergantung dari tingkat perbedaannya.
Pada beberapa kondisi tertentu perbedaan sudah dapat diperkirakan namun kembali
kepada kecerdasan peneliti dalam menghadapi perbedaan tersebut dan
komplikasi-komplikasi yang muncul akibat perbedaan sehingga dapat ditemukan
juga benang merahnya.
c. Historiografi
Sesudah
menyelesaikan langkah-langkah pertama dan kedua berupa heurestik dan kritik
sumber, maka langkah selanjutnya adalah menghasilkan karya historiografi yang
merupakan penafsiran dan pengelompokkan fakta-fakta dalam berbagai hubungan
juga membuat formulasi serta presentasi hasil-hasilnya sehingga akan
menggamparkan operasi-operasi sintetis yang menuntun dari kritik dokumen kepada
penulisan teks yang sesungguhnya (Sjamsuddin, 2007, hal. 155). Tahap-tahap
penulisan mencakup interprestasi, eksplanasi sampai kepada presentasi atau
pemaparan sejarah sebenarnya yang merupakan satu kegiatan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain.
a) Penafsiran (Interpretasi)
Proses
penulisan dilakukan karena ingin mencipta ulang dengan deskripsi dan narasi
serta melakukan penafsiran (interpret) dengan menggunakan analisa dan
berolritasi kepada problem. Teknik analisis deskripsi narasi sering kali
dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah lama, sedangkan teknik analisis
dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah baru yang ilmiah (Sjamsuddin, 2007,
hal. 158).
b) Penjelasan (Eksplanasi)
Dalam
setiap pembahasan mengenai metodologi sejarah, penjelasan merupakan satu pusat
utama yang menjadi sorotan. Penjelasan menurut D.H. Fischer berarti membuat
terang, jelas dan dapat dimengerti dengan menggunakan: what (apa), how
(bagaimana), when (kapan), where (dimana) dan who (siapa) (Sjamsuddin, 2007,
hal. 190). Seringkali eksplanasi disamakan dengan deskripsi padahal sebenarnya
keduanya dapat dibedakan. Deskripsi hanya penyebutan fakta saja, sementara
penjelasan menuntut jawaban yang analitis-kritis yang akhirnya bermuara pada
suatu penjelasan atau keterangan sintesis sejarah. Sejarah yang sebenarnya
adalah jika dapat menjelaskan atau memberikan jawaban tentang why (mengapa).
Jadi bukan sekedar what, when, where dan who tapi lebih kepada why-what,
why-when, why-where dan why-who. Sebagai contoh misalnya fakta sejarah mengenai
Proklamasi Kemerdekaan yang diucapkan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945
jam 10 pagi oleh Ir. Sukarno. Dalam deskripsi, peneliti cukup menjawab apa
(Proklamasi Kemerdekaan), kapan (tanggal 17 Agustus 1945 jam 10), dimana
(Jakarta) dan siapa (Ir. Sukarno). Tetapi dalam eksplanasi harus dapat
menjawab, mengapa Proklamasi Kemerdekaaan diucapkan (why-what), mengapa Sukarno
yang mengucapkan bukan Hatta (why-who), mengapa tanggal 17 Agustus 1945 bukan
tanggal yang lainnya (why-when), dan mengapa di Jakarta bukan kota-kota lain di
Indonesia (why-where). Jadi semuanya menuntut keterangan, penjelasan yang kalau
ditulis dapat menghasilkan buku yang tebal bukan hanya sekedar jawaban faktual
(Sjamsuddin, 2007, hal. 191-192).
Tetapi
tanpa deskripsi faktual mustahil dapat membuat sebuah eksplanasi sejarah sebab
eksplanasi tanpa fakta adalh fantasi. Hubungan antara keduanya adalah hubungan
yang saling melengkapi dan tidak dapat berdiri sendiri. Seperti mobil dengan
bahan-bahan pembuat mobil. Tidak akan ada mobil (eksplanasi) kalau tidak ada
bahan-bahan pembuatnya seperti mesin, kaca, baja, ban, jok dan sebagainya (deskripsi
fakta). Dalam bentuk yang paling sederhana, dengan merangkaikan
komponen-komponen itu dalam suatu sintesis akan menghsilkan suatu penjelasan
mengapa dan/atau bagaimana peristiwa sejarah terjadi (Sjamsuddin, 2007, hal.
193).
Terdapat
beberapa model penjelasan sejarah seperti yang terlihat pada tabel 1.
c) Penyajian (Ekspose)
Dalam
penulisan sejarah, wujud dari penulisan itu merupakan paparan, penyajian dan
presentasi yang sampai kepada dan dibaca oleh para pembaca dan pemerhati sejarah.
Paling tidak secara bersamaan digunakan tiga bentuk teknik dasar menulis yaitu
deskripsi, narasi dan analisis. Sehubungan dengan hal tersebut maka penyajian
sejarah dapat dilakun dengan tiga cara yaitu deskriptif naratif, sejarah
analitis-kritis dan gabungan deskriptif-naratif dan analitis kritis
(Sjamsuddin, 2007, hal. 236-238).
Sejarah yang bersifat naratif
mempunyai beberapa sebutan seperti sejarah populer dan sejarah peristiwa karena
terlalu menyandarkan diri kepada peristiwa-peristiwa atau sejarah lama dimana
sejarawan dianggap sebagai narator yang ditulis pada bagian luarnya saja dan
tidak memiliki arti. Penyajian sejarah yang bersifat analitis kritis dianggap
sebagai sejarah akademik dengan orientasinya pada problema dan struktur.
Pemaparan untuk jenis ini umumnya terdapat pada karya tulis ilmiah sepeti tesis
dan disertasi. Namun cara ini dianggap terlalu kaku dan tidak historis.
Sementara gabungan deskriptif naratif dan analitis kritis merupakan proses
integrasi peristiwa yang naratif dengan struktur yang analitis.
2.
Penulisan Sejarah
Dari
tulisan pada gambar 6, Thomas Jefferson mengemukakan bahwa menulis sejarah
membutuhkan waktu yang panjang, melakukan pengamatan seumur hidup,
penyelidikan, tenaga dan koreksi secara terus menerus. Dalam menulis sejarah
materi tidak mudah ditemukan jika memori/ ingatan sudah membusuk/rusak.
Menulis
sejarah merupakan kegiatan intelektual dan cara yang utama untuk memahami
sejarah. Ketika serawan memasuki tahap menulis, maka segala daya pikirannya
dikerahkan, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan dan catatan,
tetapi yang terutama penggunaan pikirn-pikiran kritis dan analisisnya sehingga
menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penulisan
utuh yang disebut historiografi. Menulis karya sejarah baik itu makalah singkat
ataupun buku tebal sebenaranya merupakan suatu paduan antara kerja seni karena
menggunakan bahasa dengan berbagai gaya yang disukai atau dikuasai dan
kemampuan berpikir kritis, analitis dan sintesis. Para peneliti sejarah
dituntut kemampuan dan keterampilan menulis, karena harus mengkomunikasikan
hasil penelitian atau temuan tersebut kepada umum.
Seperti
yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas maka penulisan sejarah
diawali dengan penelitian sejarah yang mencakup bertanya, menentukan dan
mencari sumber, kritik sumber, validasi informasi (kritik internal dan
eksternal), interpretasi, rekonstruksi (dari tahapan heuristik dan kritik
sumber, lalu dibangun suatu rangkaian cerita sejarah) dan penulisan. Peserta
didik tinggal mengikuti langkah-langkah penelitian sejarah untuk membuat
penulisan sejarah dan menghasilkan sebuah tulisan sejarah, walaupun sederhana
tetapi memenuhi kaidah penelitian sejarah.
UJI KOMPETENSI
Instrumen soal tes essay :
Jawablah pertanyaan ini dengan singkat dan
jelas:
- Apa yang dimaksud dengan metode?
- Apa perbedaan antara metode dan metodologi
- Jelaskan langkah-langkah penelitian sejarah
- Jelaskan prinsip 4 W + H?
- Dalam melakukan kritik, terdapat dua cara yaitu kritik eksternal dan kritik internal, jelaskan perbedaan antara keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Gottschalk, L. (1986). Mengerti
Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Kuntowijoyo. (1995). Pengantar
Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Miftahuddin. (t.thn.).
Menjadi Peneliti Sejarah. Dipetik Mei 18, 2013, dari staff uny website:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/miftahuddin-mhum/menulis-sejarah.pdf
Moleong, L. J. (2007). Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi
Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Sobana Hs, A. (2008, Februari
12-14). Metode Penelitian Sejarah. Materi "Workshop Penelitian dan
Pengembangan Kebudayaan: Penulisan Karya Ilmiah dan Perekaman Data, hal. 1-17.
Sukardi. (2003). Metodologi
Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan.(2009). Jakarta.
Komentar
Posting Komentar