Berpikir Sejarah
A.
Berpikir Sejarah
Modul
ketiga ini membahas tentang kemampuan berpikir yang dihasilkan dalam
pembelajaran sejarah, yaitu kemampuan berpikir kronologis, kemampuan
periodisasi, kemampuan berpikir kausalitas, dan kemampuan berpikir diakronik
dan sinkronik. Seluruh kemampuan berpikir ini, tidak hanya sangat diperlukan
untuk memahami suatu peristiwa sejarah, tetapi juga dapat digunakan untuk
memahami peristiwa pada masa kini maupun yang akan datang.
B.
Kemampuan Berpikir Kronologis
Kronologis
mengandung arti pengetahuan tentang urutan waktu dari sejumlah kejadian atau
peristiwa. Pengetahuan ini sangat penting dalam pelajaran sejarah yang
senantiasa menekankan perlunya mengurutkan seluruh kejadian atau peristiwa
berdasarkan urutan waktunya, yakni menempatkan kejadian atau peristiwa yang
terjadi lebih dahulu daripada yang terjadi kemudian. Sebagai contoh: peristiwa
yang terjadi pada tahun 1945 lebih didahulukan dari pada peristiwa yang terjadi
pada tahun 1946, atau peristiwa yang terjadi pada bulan Januari lebih
didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada bulan Februari, atau peristiwa
yang terjadi pada hari Senin lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi
pada hari Selasa, atau peristiwa yang terjadi pada jam 8 lebih didahulukan
daripada peristiwa yang terjadi pada jam 9.
Meski
kemampuan berpikir kronologis merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
sejarah, namun sejarah tidak dapat disamakan dengan kronik. Pengertian kronik
adalah catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya. Di dalam kronik
hanya dilakukan pencatatan terhadap peristiwa tanpa mempedulikan keterkaitan
antara peristiwa yang pertama dengan yang kedua dan selanjutnya. Sementara
kronologi sangat menekankan keterkaitan antara peristiwa yang pertama dengan
yang kedua dan selanjutnya.
Kronologi
memberikan gambaran waktu yang bersifat linear, yakni waktu yang bergerak dari
belakang ke depan, atau waktu yang bergerak dari kiri ke kanan, atau waktu yang
bergerak dari titik awal hingga mencapai titik akhir. Oleh karena itu, gerakan
waktu bersifat progresif karena memandang perjalanan waktu sebagai proses
perkembangan menuju kemajuan. Dalam pandangan waktu yang bersifat linear dan
progresif tersebut, pergerakan waktu dibagi menjadi tiga dimensi waktu yaitu
masa lalu, masa kini dan masa depan. Di antara dimensi waktu itu, sejarah
mempelajari peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Namun, peristiwa masa lalu
dalam sejarah mempunyai keterkaitan dengan masa kini dan masa depan.
Keterkaitan ketiga dimensi waktu itu berada dalam kerangka berpikir kausalitas
yang akan dijelaskan pada bagian yang lain dalam modul ini.
Kebalikan
dari berpikir kronologis adalah berpikir anakronistis. Bila berpikir kronologis
mengurut peristiwa berdasarkan urutan waktu kejadiannya, maka anakronisma cara
berpikir yang mencampuradukan atau memutarbalikan urutan peristiwa sehingga
memberikan pemahaman yang salah. Cara berpikir anakronistis menyalahi gambaran
waktu sebagai proses yang bergerak menurut garis lurus dari awal hingga akhir.
Gerakan waktu secara matematis diukur dengan detik, menit dan jam. Satuan
ukuran waktu yang lebih besar adalah hari, minggu, bulan, tahun, windu,
dasawarsa, dan abad. Anakronistis menempatkan kejadian atau peristiwa yang
terjadi lebih dahulu di belakang kejadian atau peristiwa yang terjadi kemudian.
Sebagai contoh: peristiwa yang terjadi pada tahun 1942 lebih didahulukan dari
pada peristiwa yang terjadi pada tahun 1941, atau peristiwa yang terjadi pada
bulan Februari lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada bulan
Januari, atau peristiwa yang terjadi pada hari Selasa lebih didahulukan
daripada peristiwa yang terjadi pada hari Senin, atau peristiwa yang terjadi
pada jam 9 lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada jam 8.
C.
Kemampuan Berpikir Periodisasi
Periodisasi
adalah pembagian waktu menurut zamannya. Istilah periodisasi dalam bahasa
Indonesia sepadan dengan penzamanan atau pembabakan. Ketiga istilah ini
(peridisasi, penzamana dan pembabakan) mempunyai pengertian yang sama, yakni pembagian
waktu menurut zamannya.
Kata
periodisasi berasal dari kata periode. Dalam bahasa Indonesia, kata periode
mempunyai tiga pengertian: (1) kurun waktu, (2) lingkaran waktu, dan (3) masa.
Ketiga pengertian ini mengandung arti yang sama yakni berkaitan dengan dimensi
waktu. Oleh karena itu memahami periode menjadi sangat penting dalam belajar
sejarah karena dimensi waktu merupakan sesuatu yang paling mendasar dalam ilmu
sejarah. Periodisasi dalam ilmu sejarah berfungsi untuk menyusun sistematika
dalam penulisan sejarah.
Periodisasi
diberikan berdasarkan caesuur atau pembagian waktu yang diberikan. Pemberian
caesuur diberikan oleh para pujangga untuk historiografi tradisional, dan
sejarawan untuk historiografi modern. Keduanya mempunyai perbedaa sebagai
berikut: Dalam historiografi tradisional suatu zaman diberi nama menurut
seorang raja yang memerintah, atau dinasti yang memerintah, atau nama
kerajaannya. Sebagai contoh masa Raja Hawam Wuruk dalam sejarah Kerajaan
Majapahit, Masa dinasti atau wangsa Syailendra dalam sejarah Kerajaan Mataram
Hindu yang mendirikan Candi Borobudur, atau sejarah kota Makasar pada masa
Kesultanan Gowa. Dalam historigrafi modern, pembagian waktu diberikan
berdasarkan penamaan kurun waktu, misalnya periodisasi dalam sejarah Eropa yang
dibagi menjadi tiga zaman, yaitu zaman kuno, zaman pertengahan dan zaman
modern. Pembagian ini diberikan oleh Christophorus Cellarius (1638-1707),
seorang ahli sejarah klasik Eropa berkebangsaan Jerman yang hidup pada abad
ke-17. Dialah yang membagi sejarah Eropa menjadi zaman kuno. pertengahan, dam
modern. Setiap periode diberikan batasan waktu 500 tahun. Berdasarkan pembagian
waktu ini maka zaman kuno Eropa berlangsung antara tahun 500 hingga tahun 1000,
zaman pertengahan Eropa berlangsung antara tahun 1000 hingga tahun 1500, dan
zaman modern Eropa berlangsung mulai dari tahun 1500 hingga sekarang.
Pembulatan
waktu yang dilakukan Cellarius dalam periodisasinya bertujuan untuk memberikan
kemudahan dalam memahami perjalanan sejarah bangsa Eropa menuju bangsa yang
modern. Di samping pembulatan tahun, para sejarawan juga menggunakan pembulatan
berdasarkan abad. Sementara satu abad berjumlah 100 tahun. OLeh karena itu
pembulatan waktu berdasarkan abad memahami sejarah suatu bangsa dalam kurun
waktu setiap seratus tahun. Sebagai contoh dalam historigrafi Barat dikenal
periodisasi yang membagi periodisasi menjadi periode Reformasi – Protestan
untuk sejarah Eropa pada abad ke-16, periode Rasionalisme untuk sejarah Eropa
pada abad ke-17, periode Pencerahan atau Aufklarung untuk sejarah Eropa pada
abad ke-18, dan peride Romantisme-Nasionalisme untuk sejarah Eropa pada abad
ke-19.
Periodisasi
juga diberikan para sejarawan Indonesia. Pada tahun 1957 para sejarawan
Indonesia membagi sejarah Indonesia menjadi enam periode, yaitu (1) Jaman
Prasejarah Indonesia, (2) Jaman Kuno, (3) Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (4) Abad Kesembilanbelas, (5) Jaman
Kebangkian Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda, dan (6) Jaman Jepang dan Jaman
Republik Indonesia. Setiap periode tersebut berlangsung dalam kurun waktu
tertentu. Jalam prasejarah berlangsung sebelum abad masehi, jaman kuno
beralngsung dari awal abad Masehi hingga tahun 1500, jaman pertumbuhan dan
perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam berlangsung dari tahun 1500 hingga tahun
1800, abad kesembilan belas berlangsung dari tahu 1800 hingga tahun 1900, jaman
kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda berlangsung dari tahun 1900
hingga 1942, dan jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia berlangsung dari
tahun 1942 hingga sekarang.
Periodisasi
sejarah Indonesia yang diberikan para sejarawan Indonesia tersebut merupakan
penggabungan dari pembulatan tahun dan pembulatan abad serta
pertistiwa-peristiwa politik yang dinilai sangat penting, seperti tahun 1942,
yaitu awal penjajahan Jepang di Indonesia yang menandai berakhirnya penjajahan
Belanda di Indonesia.
Dalam
sejarah politik ada kebiasaan membuat periodisasi berdasarkan pemilihan caesuur
pada tahun pertistiwa penting, antara lain akhir perang, awal revolusi, awal
suatu pemerintahan, dan lain sebagainya. Periodisasi seperti ini membuktikan
bahwa ide pentingnya peranan perang, diplomasi, dan peristiwa penting lain
sangat menonjol. Jadi dominasi sejarah politik dan perang sangat menentukan.
Sebagai contoh adalah Revolusi Perancis pada tahun 1789 yang dijadikan sebagai
awal periode modern daam sejarah Perancis. Dapat disimpulkan bahwa periodisasi
dalam sejarah politik dilakukan seara tajam.
Pembagian
periode secara tajam sebagaimana berlaku dalam sejarah politik tersebut tidak
dilakukan para sejarawan ekonomi dan social. Mereka membagi periode berdasarkan
konjungtur atau gelombang yang memperhatikan perubahan yang lambat. Sebagai
contoh adalah periodisasi yang dilakukan sejarawan Perancis, Braudel. Ia
membagi sejarah menjadi tiga periode yaitu sejarah kejadian-kejadian
(L’histoire evenementielle), sejarah konjungtural, dan sejarah jangka panjang
atau sejarah structural.
Perubahan
dalam sejarah structural (sejarah social) lebih lambat dari pada perubahan yang
berlangsung dalam sejarah konjungtural (sejarah ekonomi). Contoh sejarah
structural adaah perubahan struktur social atau struktur kekuasaan. Keduanya
tidak dapat terjadi secara mendadak dan berlangsung dalam waktu yang sangat lama.
Perubahan dalam struktur social sangat bergantung pada kemunculan golongan
social baru. Kemuncula golonga social baru ini menciptakan pola hubungan social
yang baru pula di antara golongan-golongan social tersebut.
Dari
uraian di atas, periodisasi yang paling sederhana adalah periodisasi dalam
sejarah politik. Relatif lebih mudah meetapkan caesuur masa pemerintahan
penguasa, awal da akhir perang, atau periode berdirinya suatu negara dan
kerajaan daripada menentukan perubahan konjungtural maupun structural.
Kesulitan utama dalam membuat periodisasi berkaitan dengan unit sejarah yang
diambil. Semakin besar dan kompleks suatu unit, semakin sulit menetapkan
criteria tajam yang berlaku untuk seluruh unit.
Dalam menghadapi kesulitan-kesulitan
itu perlu diperhatikan bahwa periodisasi hanya suatu modalitas untuk member
struktur atau bentuk kepada waktu, tidak diperlukan kemutlakan dalam membuat
pembatasan. Yang paling pokok ialah memakai criteria secara konsisten. Kriteria
adalah ukuran yang digunakan untuk menetapkan karakteristik zaman.
D.
Kemampuan Berpikir Kausalitas
Kausalitas menyangkut hubungan sebab akibat antara dua
atau lebih peristiwa. Pengetahuan tentang hubungan sebab akibat tersebut sangat
penting dalam pembelajaran sejarah, terutama untuk menjawab pertanyaan mengapa
suatu peristiwa terjadi? Jawaban terhadap pertanyaan menagap itu menngharuskan
adanya sebuah uraian tentang sesuatu yang menjadi penyebab terjadinya sebuah
peristiwa. Sebagai contoh, mengapa terjadi perang Dunia II pada tahun 1939? Mengapa
Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945? Kedua pertanyaa ini harus dijawab
dengan menguraikan penyebab-penyebabnya. Uraian penyebab ini dalam ilmu sejarah
disebut sebagai kausalitas. Ada dua teori kausalitas, yaitu monokausalitas dan
multikausalitas.
1.
Monokausalitas
Monokausalitas adalah teori hubungan sebab akibat yang
pertama kali muncul dalam ilmu sejarah. Teori ini bersifat deterministic
(ketergantungan), yakni mengembalikan kausalitas suatu peristiwa, keadaan, atau
perkembangan kepada satu faktor saja. Faktor itu dipandang sebagai faktor
tunggal atau satu-satunya faktor yang menjadi faktor kausal.
Deterministik dalam monokausalitas terdiri dari
determinstik geografis, deterministik rasial, dan deterministuk ekonomis.
Menurut teori determinisme geografis ini bahwa faktor geografi atau lokasi
tempat tinggal merupakan penyebab tunggal dari sebuah peistiwa, keadaan ataupun
perkembangan suatu bangsa. Sebagai contoh, bangsa-bangsa di negeri dingin pada
umumnya maju oleh karena kondisi ekologinya menuntut “jiwa” yang mampu
menyesuaikan diri dan mengatasi kondisi alamiah yang berat. Sebaliknya, di
negeri panas (tropika) alam sangat memudahkan hidup sehingga tidak menimbulkan
banyak tantangan. Sementara deterministic rasila lebih menekankan faktor biologis
sebagai penentu kemajuan suatu bangsa.
Sejalan dengan pemikiran faktor tunggal, deterministic
ekonomis menganggap faktor ekonomi sebagai penyebab tunggal perkembangan
masyarakat. Menurut deterministic ekonomis bahwa seluruh lembaga social,
politik dan cultural ditentukan oleh proses ekonomis, khususnya sistem
produksi. Sebagai contoh, sistem produksi agraris dengan teknologi tradisional
menciptakan struktur politik dan social yang bersifat feodalistik. Keduanya
berkisat sekitar hubungan antara tuan tanah dan penggarap atau buruh tani.
2.
Multikausalitas
Teori kausalitas yang kedua adalah multikausalitas, yakni
menjelaskan suatu peristiwa dengan memperhatikan berbagai penyebab.
Multikausalitas didasarkan pada perspektivisme, yaitu pandangan terhadap permasalahan
yang mendekati dari berbagai segi atau aspek dan perspektif. Perspektivisme di
sini berkaitan dengan konsep dan pendekatan sistem. Pendekatan ini beranggapan
bahwa antar unsure-unsur ada saling ketergantungan serta saling berhubungan.
Dalam kaitannya dengan mencari kausalitas, maka dalam hal ini lebih ditekankan
adanya kausalitas dan bukan monokausalitas. Disinilah letak perbedaan antara
perspektivisme dengan determinisme.
Kemunculan multikausalitas disebabkan oleh
keteidakmampuan monokausalitas dalam menjelaskan peristiwa, keadaan atau
perkembangan. Sebagai contoh, penjelasan tentang Perang Dunia Pertama. Dalam
teori monokausalitas, perang ini dijelaskan sebagai akibat dari ditembak
matinya putra mahkota Kerajaan Austria di Sarajevo pada tahun 1914.
Multikausalitas tidak puas dengan penjelasan yang menempatkan penembakan putra
mahkota Kerajaan Austria itu sebagai penyebab tunggal meletusnya Perang Dunia I
tersebut. Menurut teori multikausalitas bahwa Perang Dunia I disebabkan
berbagai faktor menyangkut situasi hubungan internasional pada saat itu.
Multikausalitas sangat berguna untuk memahami peubahan
social. Pembicaraan tentang konsep perubahan social bertolak dari butir-butir
referensi sebagai berikut:
1. Dinamika masyarakat menunjukkan
pergerakan dari tingkat perkembangannya yang terdahulu ke yang kemudian,
lazimnya dari yang sederhana ke yang lebih maju. Unsure-unsur mana yang berubah
dan faktor-faktor apakah yang menyebabkan perubahan.
2. Dalam berbagai teori senantiasa
perubahan social mempunyai arah, yaitu dari yang sederhana bentuknya ke yang
kompleks, berarti yang lebih baik fungsinya untuk menyelenggarakan proses
hidupnya. Ada teori evolusi, teori kemajuan, teori Darwinisme social, teori
positivis, dan lain sebagainya. Teori-teori ini masuk filsafat sejarah atau
filsafat social.
3. Dalam studi sejarah tentang
perubahan social yang dikaji masalah pola-pola, struktur, dan tendensi dalam
proses perubahan itu. Fokus perhatian ada pada transformasi structural serta
faktor-faktor yang menyebabkannya. Apakah struktur yang sama berasal dari
struktur lain yang sama pula dan apakah faktor kausalnya? Apakah struktur yang
sama berasal dari kausalitas yang sama dan sebaliknya apakah kausalitas yang
sama selalu menghasilkan struktur yang sama?
Sehubungan dengan tiga masalah di atas maka perlu
dilakukan studi sejarah komparatif, yakni melakukan perbandingan
antarperistiwa. Perlu ditekankan bahwa yang diperbandingkan bukan fakta sejarah
tetapi berbagai pola, tendensi, dan strukturnya. Sejarah dengan pendekatan ilmu
social mempunyai kemampuan untuk melakukan perbandingan antarperistiwa. Ada
beberapa kemungkinan membuat perbandingan:
1.
Antara
dua negeri dengan periode yang sama
2.
Persamaan
tema atau jenis gejala sejarah
3.
Kombinasi
butir pertama dan kedua.
4.
Antara
dua periode yang berbeda dari satu negeri
5.
Antara
dua periode yang berbeda dari dua negeri.
Sebagai contoh membandingkan antara politik kolonial
Belanda di Indonesia dengan politik kolonial Inggris di India. Dalam
analisisnya akan dapat diekstrapolasikan antara lain:
1.
Proses
modernisasi lewat edukasi
2.
Sistem
social ekonomi
3.
Komersialistik
fiscal
4.
Aagraris
feudal
5.
Struktur
organisasi aliran inovatif
6.
Pernanan
golongan inteligensia
7.
Kendala
dari struktur social
8.
Kasta
etnisitas,
Perbandigan antara Indonesia dan Indonesia juga dapat
dilakukan pada tingkat keberhasilan modernisasi yang diperolehnya. Perbandingan
derajat modernisasi menggunakan criteria sebagai berikut:
1.
Mobilitas
social
2.
Integrasi
horizontal dan vertical
3.
Produktivitas
sumber daya alamiah dan social budaya
4.
Siste
teknologi
5.
Struktur
kekuasaan demokrasi
6.
Tingkat
kesejateraan rakyat.
E.
Kemampuan Berpikir Diakronis dan
Sinkronik
Kemampuan
berpikr diakronik dan sinkronik mempunyai beberapa perbedaan. Pengertian
berpikir diakronis adalah kemampuan memahami peristiwa dengan melakukan
penelusuran pada masa lalu. Sebagai contoh memahami Proklamasi Kemerdekaan
Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan menelusuri perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia sejak masa penjajahan Belanda pada abad ke-17.
Oleh karena itu cara berpikir diakronis sangat mementingkan proses terjadinya
sebuah peristiwa.
Sementara
berpikir sinkronik memahami peristiwa dengan mengabaikan aspek perkembangannya.
Cara berpikir sinkronik memperluas ruang dalam suatu peristiwa. Sebagai contoh
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dijelaskan dengan menguraikan berbagai
aspek, seperti aspek social, ekonomi, politik, dan hubungan internasioal. Oleh
karena itu cara berpikir sinkronik sangat mementingkan struktur yang terdapat
dalam setiap peristiwa.
Berpikir
diakronis merrupakan cara berpikir yang khas sejarah, sementara berpikir
sinkronik merupakan cara berpikir yang khas ilmu-ilmu social. Dapat disimpulkan
bahwa cara berpikir sejarah itu bersifat diakronik, memanjang dalam waktu,
serta memetingkan proses terjadinya sebuah peristiwa. Sedangkan cara berpikir
ilmu-ilmu sosial itu bersifat sinkronik, melebar dalam ruang, serta
mementingkan struktur dalam satu peristiwa.
Cara
berpikir sinkronik sangat mempengaruhi kelahiran sejarah baru yang sangat dipengaruhi
perkembangan imu-ilmu social. Pengaruh itu dapat digolongan ke dalam empat
macam, yaitu konsep, teori, dan permasalahan.
Konsep
Bahasa
latin conceptus yang berarti gagasan atau ide. Para sejarawan banyak
menggunakan konsep ilmu-ilmu social. Sebagai contoh sejaawan Anhar Gonggong
dalam disertasinya tentang Kahar Muzakkar menggunakan konsep politik lokal
untuk menerangkan konflik antargologan di Sulawesi Selatan. Konsep ilmu social
lain yang digunakannya adalah konsep dari psykologi etnis yang terdapat dalam
masyarakat Sulawesi Selatan, yaitu sirik yang berarti harga diri atau martabat.
Teori
Bahasa
Yunani theoria berarti kaidah yang mendasari suatu gejala, yang sudah melalui
verifikasi. Sebagai contoh adalah karya sejarawan Ibrahim Alfian, Perang di
Jalan Allah. Ia menerangkan perang Aceh dengan teori perilaku kolektif dari
ilmu social. Dalam teori itu diterangkan bahwa perilaku kolektif dapat timbul,
melalui dua syarat, yaitu ketegangan structural dan keyakinan yang tersebar.
Dalam kasus perang Aceh yang diteliti Ibrahim Alfian dijelaskan adanya
ketegangan antara orang Aceh dengan pemerintah colonial Hindia Belanda
(ketegangan structural), dan keyakinan yang tersebar di kalangan masyarakat
Aceh bahwa musuh mereka adalah golongan kafir. Pertentangan antara kafir dan
muslim itulah yang menghasilkan ideology perang sabil.
Permasalahan
Dalam sejarah banyak sekali
permasalahan ilmu-ilmu social yang dapat diangkat jadi topic-topik penelitian
sejarah. Soal seperti mobilitas social, kriminalitas, migrasi, gerakan petani,
budaya istana, kebangkitan kelas menengah dan sebagainya. Sebagai contoh adalah
karya sejarawan Sartono Kartodirdjo tentang perkembangan peradaban priyayi yang
ditulis berdasarkan permasalahan elite dalam pemerintahan colonial, kemunculannya,
lambang-lambangnya, dan perubahan-perubahannya.DAFTAR PUSTAKA
Gordon, B., (2003), Intellegent
Memory: A Perscription For Improving Your Memory, New York:: Penguing Books.
Hasan. Hamid, (2012), Pendidikan Sejarah Indonesia: Isu Dalam Ide
dan Pembelajaran, Bandung: Rizqi.
Kuntowijoyo. (1995). Ilmu Pengantar
Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Lewis, Bernard, (1987), History:
Remembered, Recovered, Invented, New York: Simon & Schuster, Inc.,)
Sjamsuddin, Helius. (2007).
Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Wineburg, Sam, (2006), Berpikir
Historis, Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Komentar
Posting Komentar