Sejarah Sebagai Ilmu
A. SEJARAH SEBAGAI ILMU
Sejarah
sebagai ilmu dapat kita lihat dari berbagai ciri. Pertama, sejarah merupakan
ilmu empiris. Empiris berasal dari bahasa Yunani empeiria yang berarti
pengalaman. Sejarah sangat tergantung pada pengalaman manusia. Pengalaman
manusia tersebut terekam baik dalam bentuk artefak-artefak maupun
dokumen-dokumen. Artefak-artefak dan dokumen-dokumen yang merupakan data
tersebut diteliti oleh sejarawan untuk menemukan fakta. Fakta-fakta tersebut
diinterpretasi/ditafsirkan. Berdasarkan dari interpretasi atas fakta-fakta
tersebut dibuat dalam bentuk tulisan sejarah, misalnya Bung Karno dan Bung
Hatta membacakan Proklamasi sebagai data dan kita menafsirkannya menjadi fakta
dimana Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Berikutnya
adalah sejarah memiliki objek. Objek berasal dari bahasa Latin objectus yang
berarti di hadapan, sasaran, tujuan. Sejarah biasanya dimasukkan dalam ilmu
tentang manusia (humaniora) karena selain objek yang diteliti adalah manusia,
khususnya perubahan atau perkembangan manusia pada masa lalu, metodologi yang
digunakan juga berbeda dengan ilmu lain, misalnya antropologi. Apabila
antropologi membahas manusia pada masa sekarang, maka sejarah berkisah tentang
manusia pada masa lalu. Oleh karena itu objek lain dari sejarah adalah waktu.
Waktu di sini adalah waktu manusia. Dengan demikian, soal asal mula selalu
menjadi bahasan utama sejarah, misalnya masuknya Islam di Indonesia apakah pada
abad ke-8 atau ke-13 seharusnya tidak menjadi persoalan bagi sejarawan asalkan
penjelasannya dapat diterima.
Ciri
lain adalah sejarah mempunyai generalisasi. Generalisasi dari bahasa Latin
generalis yang berarti umum. Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain, sejarah juga
menarik kesimpulan-kesimpulan umum dari pengamatan yang dilakukan. Antropologi,
misalnya membahas pluralisme Amerika, maka mereka dituntut untuk menarik
kesimpulan-kesimpulan umum yang berlaku di mana-mana dan dapat dianggap sebagai
kebenaran umum. Namun, menurut Sartono Kartodirdjo (1992) bila kita berbicara
tentang generalisasi dalam sejarah sebenarnya merupakan suatu pertentangan arti
dalam istilah (contradictio in terminis). Generalisasi menunjuk pada suatu
keteraturan, dalil atau hukum yang berlaku untuk beberapa kasus, sedangkan sejarah
didefinisikan sebagai ilmu yang mengungkapkan peristiwa dalam keunikannya
dimana hal-hal unik itu menunjuk kepada sesuatu yang sekali terjadi dan tidak
terulang lagi. Yang jelas mengenai tempat dan waktu, situasi dan konteks tidak
mungkin diulang, hanya sekali itu saja terjadi. Hal yang berulang dalam sejarah
lazimnya berhubungan dengan pola kelakuan manusia berdasarkan orientasi nilai,
sistem sosial, kebutuhan ekonomis, sifat psikologis. Contoh generalisasi dalam
sejarah adalah Revolusi Industri menciptakan suatu kebutuhan akan sumber-sumber
bahan mentah, pasar-pasar baru, dan tempat-tempat penanaman modal yang membawa
persaingan di antara bangsa-bangsa untuk mendapatkan koloni-koloni (Sjamsudin
2012: 34)
Sejarah
dengan pendekatan ilmu sosial membuka kesempatan untuk mengungkapkan
generalisasi yang hanya dapat diekstrapolasikan dengan alat-alat analitis
ilmu-ilmu sosial. Misalnya dalam mengungkapkan suatu konflik ditemukan berbagai
fase gerakan sosial, antara lain mobilisasi, agitasi, akselerasi, polarisasi,
dan akhirnya tercetuslah kekerasan. Demikian pula dengan jalannya suatu
revolusi mirip dengan revolusi lain dalam segi formalnya, tetapi dalam segi
substansinya setiap revolusi adalah unik (Kartodirdjo 1992:104)
Lalu
sejarah mempunyai metode. Metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang
berarti cara. Menurut Sartono Kartodirdjo (1992) metode adalah bagaimana orang
memperoleh pengetahuan (how to know). Berkaitan dengan ilmu sejarah, metode
sejarah ialah bagaimana mengetahui sejarah. Seorang sejarawan yang ingin
mengetahui, misalnya sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia akan menempuh
secara sistematis prosedur penelitian dengan menggunakan teknik-teknik tertentu
pengumpulan bahan-bahan sejarah, baik dari arsip-arsip dan
perpustakaan-perpustakaan, maupun wawancara dengan tokoh-tokoh yang masih hidup
sehubungan dengan peristiwa bersejarah itu, atau dari orang-orang terdekat
dengan tokoh-tokoh itu (misalnya anggota keluarga atau sahabat) sehingga ia
dapat menjaring informasi selengkap mungkin (Sjamsudin 2012: 12)
Selain
ketrampilan teknis praktis dari metode ini, seorang sejarawan harus dilengkapi
pula dengan pengetahuan-pengetahuan metodologis, teoritis bahkan juga filsafat.
Sejarawan harus mengetahui bagaimana ia menggunakan ilmu metode itu pada tempat
yang seharusnya. Ia harus mengetahui prosedur-prosedur apa yang harus ditempuh
dalam menjaring informasi; pertanyaan-pertanyaan apa yang harus ditanyakan dan
kemungkinan jawaban apa yang akan diperoleh; mengapa dan bagaimana ia melakukan
kritik terhadap sumber-sumber yang diperolehnya (Sjamsudin 2012: 12)
Salah
satu ciri penting suatu ilmu adalah teori. Teori berasal dari bahasa Yunani
theoria yang berarti renungan. Seperti ilmu lainnya, sejarah juga memiliki
teori pengetahuan yang sering disebut filsafat sejarah kritis. Teori dalam
sejarah pada umumnya berisi satu kumpulan tentang kaidah pokok suatu ilmu
(Kuntowijoyo 2001:62). Menurut Lubasz (1963) yang dikutip oleh Sjamsudin (2012)
teori dalam sejarah, terutama dalam eksplanasi sejarah, pada umumnya digunakan
untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan suatu keberadaan kolektif, untuk
merekonstruksi suatu perangkat kepercayaan menurut suatu analisis karakter
kolektif, untuk menguji kebenaran dan ketepatan (verifikasi), penjelasan
(eksplanasi) suatu peristiwa kolektif. Teori adalah sangat esensial dalam
kajian tentang segala (fenomena) pada masa lalu maupun masa sekarang yang tidak
terbuka untuk diamati secara langsung. Fenomena kolektif itu misalnya
lembaga-lembaga, kelompok-kelompok, peristiwa-peristiwa kolektif (Sjamsudin
2012: 49)
B. SEJARAH SEBAGAI FAKTA DAN PERISTIWA
Berita
yang kita baca di suratkabar bukanlah kejadian melainkan berupa pernyataan
tentang suatu kejadian atau fakta. Kejadian yang telah terjadi sebagai sejarah
dalam arti obyektif tidak dapat lagi diulang atau dialami kembali. Namun,
jejaknya sebagai memori dapat diungkapkan kembali (Kartodirdjo 1992:17)
Sejarah
sebagai fakta dapat didefinisikan sebagai suatu unsur yang dijabarkan baik
secara langsung maupun tidak langsung dari dokumen-dokumen atau sumber sejarah
setelah melalui serangkaian pengujian dan kritik. Dokumen-dokumen atau sumber
sejarah yang merupakan data tersebut diteliti oleh sejarawan untuk menemukan
fakta. Fakta-fakta tersebut diinterpretasi/ditafsirkan.
Fakta merupakan bahan utama yang
digunakan sejarawan untuk menyusun suatu cerita atau menganalisis sejarah. Pada
hakikatnya fakta itu merupakan suatu konstruk yang dibuat oleh sejarawan
sehingga mengandung faktor subyektivitas (Kartodirdjo 1992:88)
Ada
fakta yang untuk jangka waktu lama masih belum mantap atau masih lunak,
misalnya tentang pembunuhan presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy di tahun
60-an. Siapakah pembunuhnya masih merupakan tanda tanya. Di samping itu ada
banyak teori berbeda yang digunakan berkenaan dengan pembunuhan tersebut.
Selain itu ada pula fakta keras, antara lain Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Sejarawan
memerlukan informasi berupa fakta sebanyak mungkin sesuai dengan keperluan
penelitian dan penulisan. Bagi sejarawan fakta-fakta itu dapat diibaratkan
sebagai batu bangunan kajian sejarah. Adalah sesuatu yang mustahil untuk
memahami dunia ini tanpa fakta karena tanpa adanya fakta-fakta itu kita tidak
dapat mendapatkan gambaran tentang kejadian atau individu di masa lalu
(Sjamsudin 2012:17)
Sejarawan
Amerika Carl L. Becker berpendapat bahwa fakta adalah sebuah simbol. Sebuah
fakta yang sederhana dapat berubah menjadi fakta yang sangat penting karena
jaringan-jaringan yang terbentuk mempunyai kaitan yang jauh lebih besar dan
besar. Becker memberikan contoh tentang penyeberangan sungai kecil yang bernama
Rubicon yang berada di perbatasan antara Galia (sekarang Prancis) dan Italia.
Sudah banyak orang yang menyeberangi sungai kecil itu sepanjang masa. Namun,
peristiwa penyeberangan oleh orang-orang itu tidak pernah diangkat menjadi
fakta sejarah. Ketika Julius Caesar (100-44 SM) menyeberanginya pada 49 sebelum
Masehi, barulah peristiwa itu menjadi fakta sejarah. Caesar merupakan panglima
tentara Romawi di Galia. Ia dipecat oleh Senat Romawi sebagai komandan. Caesar
menolak pemecatan itu dan bersama pasukannya ia kembali ke Roma dengan
menyeberangi Sungai Rubicon. Caesar lalu berhasil merebut Roma dan
menyingkirkan lawan-lawannya hingga akhirnya menjadi penguasa emperium Romawi.
Tindakan Caesar menyeberangi Sungai Rubicon merupakan suatu keputusan yang
menentukan nasibnya di kemudian hari yang juga berkaitan dengan nasib
lawan-lawannya para senator yang memecatnya. Demikian juga nasib Republik Roma,
rakyat dan emperium selanjutnya (Ankersmit 1987: 99; Sjamsudin 2012:19)
Sejarah
sebagai peristiwa dapat dipahami sebagai sesuatu yang terjadi di dalam
kehidupan masyarakat pada masa lampau. Di sini, pengertian ‘sesuatu yang
terjadi di dalam kehidupan masyarakat’ merupakan hal penting karena segala
sesuatu yang terjadi yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan masyarakat
bukanlah sejarah.
Berikutnya,
pengertian ‘pada masa lampau’ sangat jelas bahwa sejarah merupakan peristiwa
yang terjadi pada masa lalu, bukan sekarang yang menurut R. Moh Ali disebut
sejarah sebagai obyek.
Namun,
tidak semua peristiwa yang terjadi pada masa lalu dianggap sebagai sejarah.
Suatu peristiwa dianggap sebagai peristiwa sejarah jika peristiwa itu dapat
dikaitkan dengan peristiwa yang lain sebagai bagian dari proses dinamika dalam
konteks historis. Selain itu peristiwa-peristiwa tersebut perlu pula diseleksi
untuk mendapatkan peristiwa yang memang penting dan berguna.
Peristiwa
yang dapat digolongkan sebagai peristiwa sejarah haruslah unik, terjadi sekali
saja (eenmalig) dan memiliki pengaruh yang besar pada masanya dan masa
sesudahnya.
Sejarah
sebagai peristiwa tidak dapat kita amati lagi karena kita tidak dapat lagi
menyaksikan peristiwa tersebut. Misalnya peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 ketika itu Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan.
C. SEJARAH SEBAGAI CERITA/KISAH
Sejarah
sebagai cerita atau kisah adalah peristiwa sejarah yang diceritakan atau
dikisahkan kembali sebagai hasil rekonstruksi ahli sejarah (sejarawan) terhadap
sejarah sebagai peristiwa. Sejarah sebagai cerita merupakan rekonstruksi dari
suatu peristiwa baik yang dituliskan maupun diceritakan oleh seseorang sehingga
sejarah dapat berupa kisah yang berbentuk lisan dan tulisan.
Sejarah
sebagai kisah merupakan peristiwa sejarah yang dikisahkan kembali atau
diceritakan kembali sebagai hasil konstruksi dari para ahli sejarah (sejarawan)
terhadap sejarah sebagai peristiwa. Oleh R. Moh Ali (2005) hal itu disebut
sejarah sebagai serba subjek. Sehingga tidak tertutup kemungkinan sejarah
sebagai kisah bersifat subjektif.
Subjektivitasnya
ada pada bagaimana sejarah itu disampaikan, diceritakan oleh seseorang. Faktor
kepentingan dan latar belakang penulis sejarah itu juga mempengaruhi cara
penulisan sejarah. Penulisan yang dapat dipertanggungjawabkan harus melalui
penafsiran yang mendekati kebenaran peristiwa yang terjadi. Sementara itu untuk
merekonstruksi kisah sejarah harus mengikuti metode analisis serta pendekatan
tertentu.
Suatu
peristiwa yang sama dapat saja dikisahkan dengan cara berbeda oleh dua orang
atau lebih karena mereka memiliki penafsiran yang berbeda. Misalnya ketika kita
mewawancarai orang-orang yang pernah mengalami atau melihat peristiwa Bandung
Lautan Api pada 1946 akan berbeda mengisahkannya antara satu dengan yang
lainnya. Apabila yang kita wawancarai adalah seorang prajurit yang terlibat
pertempuran tersebut, kemungkinan ia akan menceritakan peristiwa Bandung Lautan
Api dalam perspektif dirinya sebagai seorang tentara. Demikian halnya apabila
yang kita wawancarai adalah seorang petani, dia akan menceritakan peristiwa
tersebut berbeda dengan sudut pandang prajurit.
Apabila
kita mendengarkan seseorang menceritakan tentang peristiwa Bandung Lautan Api,
maka itu termasuk kategori kisah lisan. Namun, apabila kita ingin mengetahui
peristiwa Bandung Lautan Api dengan membaca buku-buku yang bercerita tentang
Bandung Lautan Api, maka itu termasuk dalam kategori kisah tulisan.
D. SEJARAH SEBAGAI SENI
Tokoh
penganjur sejarah sebagai seni adalah George Macauly Travelyan. Menurut
Travelyan menulis sebuah kisah peristiwa sejarah tidaklah mudah karena
memerlukan imajinasi dan seni. Dalam seni dibutuhkan intuisi, emosi, dan gaya
bahasa. Sejarah dapat juga dilihat sebagai seni. Seperti halnya seni, sejarah
juga membutuhkan intuisi, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa.
Intuisi
dibutuhkan sejarawan terutama yang berkaitan dengan pemahaman langsung selama
penelitian. Setiap langkah yang harus dikerjakan oleh sejarawan memerlukan
kepandaian dalam memutuskan apa yang harus dilakukan. Seringkali untuk memilih
suatu penjelasan, bukanlah perangkat ilmu yang berjalan tetapi intuisi.
Demikian halnya ketika harus menggambarkan suatu peristiwa atau berupa
deskripsi, sejarawan sering tidak sanggup melanjutkan tulisannya. Dalam keadaan
seperti itu, sebenarnya yang diperlukan adalah intuisi. Namun, meskipun
mengandalkan intuisi, sejarawan harus tetap berdasarkan data yang dimilikinya.
Sejarawan
juga membutuhkan imajinasi, misalnya membayangkan apa yang sebenarnya terjadi,
apa yang sedang terjadi, pada suatu periode yang ditelitinya. Imajinasi yang
digunakan tentunya bukanlah imajinasi liar melainkan berdasarkan keterangan
atau data yang mendukung. Misalnya seorang sejarawan akan menulis priyayi awal
abad ke-20. Ia harus memiliki gambaran, mungkin priyayi itu anak cucu kaum
bangsawan atau raja yang turun statusnya karena sebab-sebab alamiah atau
politis. Imajinasi seorang sejarawan juga harus jalan jika ia ingin memahami
perlawanan Sultan Palembang yang berada di luar ibu kota pada abad ke-19.
Sejarawan dituntut untuk dapat membayangkan sungai dan hutan yang mungkin jadi
tempat baik untuk bersembunyi (Kuntowijoyo 2001:70).
Demikian
halnya dengan emosi. Dalam penulisan sejarah terdapat pula keterlibatan emosi.
Di sini penulis sejarah perlu memiliki empati yang menyatukan dirinya dengan
objek yang diteliti. Pada penulisan sejarah zaman Romantik yaitu pada akhir
abad ke-18 dan awal abad ke-19, sejarah dianggap sebagai cabang sastra.
Akibatnya, menulis sejarah disamakan dengan menulis sastra, artinya menulis
sejarah harus dengan keterlibatan emosional. Orang yang membaca sejarah
penaklukan Meksiko, jatuhnya Romawi, pelayaran orang Inggris ke Amerika, harus
dibuat seolah-olah hadir dan menyaksikan sendiri peristiwa itu. Penulisnya
harus berempati, menyatukan perasaan dengan objeknya. Diharapkan sejarawan
dapat menghadirkan objeknya seolah-olah pembacanya mengalami sendiri peristiwa
itu (Kuntowijoyo 2001:70-71).
Unsur
lain yang tidak kalah pentingnya adalah gaya bahasa. Dalam penulisan sejarah,
sejarawan harus menggunakan gaya bahasa yang tidak berbelit-belit, tidak
berbunga-bunga, tidak membosankan, komunikatif dan mudah dipahami. Khususnya
dalam menghidupkan suatu kisah di masa lalu. Di sini yang diperlukan adalah
kemampuan menulis secara terperinci (detail).
Berbeda
dengan karya sastra, dalam penulisan sejarah harus berusaha memberikan
informasi yang lengkap dan jelas. Serta menghindari subjektivitas dan
mengedepankan obyektivitas berdasarkan penggunaan metode penelitian yang tepat.
Namun,
sejarah sebagai seni memiliki beberapa kekurangan yaitu sejarah sebagai seni
akan kehilangan ketepatan dan obyektivitasnya. Alasannya, seni merupakan hasil
imajinasi. Sementara ketepatan dan obyektivitas merupakan hal yang diperlukan
dalam penulisan sejarah. Ketepatan berarti adanya kesesuaian antara fakta dan
penulisan sejarah. Sedangkan obyektivitas berarti tidak ada pandangan yang
individual. Kedua hal ini menimbulkan kepercayaan orang pada sejarawan dan
memberikan kesan penguasaan sejarawan atas detail tulisan sejarah. Namun, kesan
akan kedua hal itu akan hilang jika sejarah menjadi seni karena sejarah
berdasarkan fakta dan seni merupakan hasil imajinasi. Sejarah yang terlalu
dekat seni pun dapat dianggap telah memalsukan fakta.
E. FIKSI DAN MITOS DALAM SEJARAH
Berkaitan
dengan peristiwa di masa lalu muncul kesangsian apakah masa lalu itu pernah
ada. Mungkin saja masa lalu itu merupakan rekaan kita, hasil khayalan kita atau
fiksi. Di sini bila kita menyangsikan adanya sesuatu di masa silam, maka kita
harus memiliki gambaran mengenai dunia yang disangsikan tersebut dan merumuskan
kesangsian itu. Selain itu juga kita harus menanyakan mengapa kita
menyangsikannya. Filsuf Bertrand Russel (1872-1970) menuliskan bahwa segala
kenang-kenangan kita akan masa silam, ternyata diciptakan lima menit yang lalu.
Semua kenang-kenangan kita dan bahan historis serasi satu sama lain sehingga
tampak seolah-olah ada masa silam yang mendahului saat penciptaan itu
(Ankersmit 1987:77)
Di
samping itu fiksi merupakan karya rekaan yang melibatkan imajinasi dan
merupakan bagian dari seni. Sejarah dapat juga disebut sebagai seni karena
sejarah berhubungan dengan penyimpulan dan penulisan suatu peristiwa sejarah
yang berhubungan dengan kaidah dan keindahan bahasa. Selain itu sejarah
memerlukan intuisi atau ilham. Khususnya ketika sejarawan memilih topik, selama
penelitian dan dalam proses penulisan sejarah.
Namun,
meskipun berhubungan dengan cerita, sejarah bukanlah sastra, terutama karya
fiksi, karena berbeda dengan karya sastra sebagai hasil subyektivitas
sastrawan, sejarah harus berusaha memberikan informasi selengkap dan sejelasnya
dengan menghindari subyektivitas melalui penggunaan metode sejarah.
Kita
mengenal adanya karya sastra (fiksi) yang berlatar belakang sejarah. Misalnya
karya tetralogi Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah, Rumah Kaca yang menggambarkan suasana Indonesia pada akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20. Dalam karya-karyanya tersebut Pramoedya menghubungkan
antara sejarah (realitas) dengan sastra (fiksi).
Berikutnya
adalah mitos dalam sejarah. Mitos merupakan bagian dari budaya sebagai bagian
dari olah pikir manusia. Daya ingat manusia terbatas. Segala hal yang
menyenangkan dirinya tentu akan selalu diingat. Ingatan tersebut ditambah atau
diperindah sesuka hati. Apabila diceritakan kepada orang lain yaitu kepada anak
cucu maka ingatan itu akan menjadi cerita yang indah. Semakin lama, semakin
indah cerita itu dan semakin jauh isi cerita dari kejadian yang sebenarnya. Ini
yang menjadi asal mula cerita-cerita kuno seperti mitos, legenda, dan saga (Ali
2005: 101)
Baik
sejarah maupun mitos, keduanya menceritakan masa lalu tetapi sejarah dan mitos
adalah dua hal berbeda. Mitos berasal dari bahasa Yunani, mythos berarti
dongeng. Oleh karena merupakan dongeng, mitos biasanya menceritakan masa lalu
dengan waktu yang tidak jelas serta kejadian yang tidak masuk akal. Sedangkan
sejarah memiliki waktu berlangsungnya suatu peristiwa dengan jelas serta
kejadian yang rasional, terbukti secara empirik dan dapat dimengerti.
Contoh
mitos di Indonesia adalah kisah Kanjeng Ratu Kidul yang memiliki istana di
dalam Laut Selatan dan menjadi permaisuri raja-raja Jawa. Demikian halnya
dengan kisah Ken Angrok dalam kitab Pararaton (Swantoro 2002:143). Sebenarnya
mitos tidak hanya dikenal di Jawa, di wilayah-wilayah lain di Indonesia juga
mengenal mitos. Di Sumatera dikenal mitos raja Iskandar Zulkarnain turun di
Bukit Siguntang, yang kemudian menurunkan raja-raja. Demikian halnya di
Sulawesi dikenal mitos To manurung yang kemudian juga menurunkan raja-raja.
Meskipun
kisah dalam mitos di luar rasio manusia ada saja orang Indonesia yang
mempercayainya dan menyatakan bahwa itu merupakan peristiwa nyata, peristiwa
faktual yang benar terjadi. Mereka menyatakan bahwa mereka pernah melihat
Kanjeng Ratu Kidul dengan mata kepala sendiri. Bagi mereka, Kanjeng Ratu Kidul
memang betul ada dan bukan mitos. Menurut Locher (1959) yang dikutip
Swantoro, mitos pada umumnya menunjuk wahana bahasa pada peristiwa-peristiwa
yang yang dipandang oleh manusia sangat penting bagi eksistensinya, yang
memberi arti baginya pada masa sekarang, masa lalu, dan masa depan sekaligus
(Swantoro 2002:143)
Dalam
sejarah Indonesia dikenal mitos mengenai penjajahan Indonesia oleh Belanda
selama 350 tahun. Sejarawan G.J. Resink sejak awal mengatakan bahwa Indonesia
tidak dijajah selama 350 tahun. Demikian halnya dengan sejarawan Onghokham yang
mengutuk pandangan ini. Menurutnya Belanda pada awalnya datang untuk berdagang
dan pada saat itu masih ada kekuasaan lokal yang berkuasa. Kolonialisme yang terjadi
di Indonesia tepatnya dimulai setelah VOC bangkrut dan wewenangnya diambil alih
oleh pemerintah Belanda. Sehingga jika dihitung tidak terbukti selama 350
tahun. Namun, hal ini sudah terlanjur ada dalam ingatan bawah sadar masyarakat
Indonesia dan muncul dalam buku-buku pelajaran. Hal inilah yang menurut
Onghokham disebut mitos.
Meskipun
mitos bukan sejarah tetapi mitos-mitos memiliki kegunaan sendiri. Seperti yang
telah diungkapkan sebelumnya, mitos merupakan bagian dari budaya. Mitos Dewi
Sri, misalnya merupakan bagian dari budaya agraris. Bagi Indonesia, mitos dapat
menjadi kekuatan sejarah dan oleh karena itu layak mendapat perhatian. Demikian
halnya dengan mitos Ratu Adil yang mampu menggerakkan orang Jawa untuk melawan
Belanda (Kuntowijoyo 2001:143).
Taufik
Abdullah menuliskan bahwa mitos boleh juga dianggap sebagai peristiwa ‘sejarah’
yang harus selalu diingat dan diingatkan, sebagai pelajaran dan alat pemersatu.
Namun, Taufik Abdullah juga mengingatkan untuk tidak mencampuradukannya dengan
sejarah dan ingatan. Sejarah memang tidak ada dengan sendirinya. Sejarah adalah
hasil dari sebuah usaha untuk merekam, melukiskan, dan menerangkan peristiwa di
masa lalu
F. TEMA DAN KAJIAN ILMU SEJARAH
Sejarah
berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu tema-tema kajian dalam
ilmu sejarah berdasarkan kategori tema yang biasa menggunakan konsep-konsep
ilmu sosial dalam penelitian dan penulisan sejarahnya. Konsep dari berbagai
disiplin ilmu sosial digunakan untuk menganalisis peristiwa masa lalu sesuai minat
dan tema.
Obyek
kajian sejarah antara lain sejarah sosial, sejarah politik, sejarah mentalitas,
sejarah intelektual, sejarah ekonomi, sejarah agraria, sejarah kebudayaan,
sejarah maritim, sejarah geografi, sejarah militer, sejarah perempuan, sejarah
diplomatik, sejarah pendidikan, sejarah ilmu pengetahuan.
Sejarah
sosial merupakan setiap gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial
suatu komunitas atau kelompok. Manifestasi kehidupan sosial itu beragam,
seperti kehidupan keluarga beserta pendidikannya, gaya hidup yang meliputi
pakaian, perumahan, makanan, perawatan kesehatan, segala macam bentuk rekreasi
seperti permainan, kesenian, olah raga, peralatan, upacara. Ruang lingkup
sejarah sosial sangat luas karena hampir melingkupi segala aspek hidup manusia.
Contoh jenis sejarah ini adalah karya Trevelyan, English Social History yang
memuat banyak aspek dalam masyarakat Inggris, seperti soal pakaian, makanan,
rumah tangga (Kartodirdjo 1992:50). Contoh lainnya adalah disertasi Prof.
Sartono Kartodirdjo mengenai “Pemberontakan Petani Banten tahun 1888” (1966) di
Universitas Amsterdam yang menyinggung masalah aspek, gejala dan fenomena Ratu
Adil dalam pemberontakan petani di Banten. Dalam disertasinya Prof. Sartono
menyoroti sebuah ‘peristiwa kecil’ dengan aktor-aktor ‘orang kecil’, ulama
lokal dan petani dengan memakai pendekatan yang bercorak multidimensional.
Sejarah
politik dalam historiografi Barat lazim disebut sebagai sejarah konvensional.
Ciri yang menonjol dalam sejarah ini adalah deskriptif naratif. Proses politik
diungkapkan hanya satu dimensi yaitu dimensi politik saja, aspek lain seperti
ekonomi, sosial dan kultural kurang mendapat perhatian, sehingga berkesan datar
dan kurang memperhatikan relief (Kartodirdjo 1992: 46). Namun, pemaparan deskriptif-naratif
pada sejarah politik gaya lama digantikan sejarah politik baru dengan analisis
kritis-ilmiah karena sejarah politik model baru telah mengunakan pendekatan
dari berbagai ilmu-ilmu sosial (Sjamsudin 2012:251). Kajian sejarah politik
berhubungan dengan struktur kepemimpinan, peranan elit, jaringan politik.
Sejarah mentalitas memiliki cakupan yang luas. Garapan utamanya adalah mentifact yang mencakup ide, ideologi, orientasi nilai, mitos, serta segala struktur kesadarannya. Semua itu untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan faktor apa yang mendorong terjadinya suatu peristiwa. Kata kunci untuk pertanyaan itu adalah ideologi, mitos, etos, jiwa, ide-ide, mentalitas, nilai-nilai. Contoh dari karya sejarah mentalitas adalah Fire in the Mind of Men karya Billington yang mengembalikan dahsyatnya revolusi-revolusi kepada semangat, ideologi, atau nilai-nilai yang memberi inspirasi serta membentuk pola sikap yangradikal serta penuh dedikasi terhadap suatu ide (Kartodirdjo 1992:170)
Sejarah mentalitas memiliki cakupan yang luas. Garapan utamanya adalah mentifact yang mencakup ide, ideologi, orientasi nilai, mitos, serta segala struktur kesadarannya. Semua itu untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan faktor apa yang mendorong terjadinya suatu peristiwa. Kata kunci untuk pertanyaan itu adalah ideologi, mitos, etos, jiwa, ide-ide, mentalitas, nilai-nilai. Contoh dari karya sejarah mentalitas adalah Fire in the Mind of Men karya Billington yang mengembalikan dahsyatnya revolusi-revolusi kepada semangat, ideologi, atau nilai-nilai yang memberi inspirasi serta membentuk pola sikap yangradikal serta penuh dedikasi terhadap suatu ide (Kartodirdjo 1992:170)
Sejarah
intelektual mempelajari ide-ide yang pernah berkembang dan berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat. Ide-ide tersebut terdapat dalam filsafat, sejarah,
kesusastraan, seni lukis, patung, arsitektur, musik. Pendidikan. Seringkali
kajian sejarah intelektual memiliki
kemiripan dan saling tumpah tindih dengan sejarah mentalitas karena keduanya
bersumber pada mentifact, fakta kejiwaan atau mentalitas. Perbedaannya sejarah
intelektual mempelajari ‘ide-ide’ sedangkan sejarah mentalitas mengkaji
‘kepercayaan dan sikap-sikap rakyat’ (Kartodirdjo 1992:170-171; Sjamsudin
2012:256). Kajian sejarah intelektual berupa kajian ideologi politik seperti
kapitalisme, liberalisme, komunisme, sosialisme.
Sejarah
ekonomi adalah cabang sejarah yang paling sesuai dengan teknik-teknik
kuantitatif sehingga dianggap sebagai sains atau ilmu sosial. Substansi materi
sejarah ekonomi - produksi barang dan jasa, pekerjaan, penghasilan, harga –
dapat diukur (dihitung). Ada dua aliran dalam sejarah ekonomi modern yaitu
mazhab Prancis Annales dan sejarah ekonomi baru. Para pengikut aliran Annales
dalam melakukan pendekatan kuantitatif terhadap masa silam tidak ketat
menggunakan data-data kuantitatif dengan bantuan teori-teori dan model-model
ekonomis. Tokoh terkemuka aliran Annales adalah Fernand Braudel (1902-1985)
yang menulis The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip
II. Sedangkan penganut aliran sejarah ekonomi baru meneliti aspek-aspek ekonomi
dengan bantuan teori-teori yang sudah jauh berkembang (Sjamsudin 2012: 246-248)

Sejarah
kebudayaan melingkupi ruang lingkup yang luas. Semua bentuk manifestasi
keberadaan manusia berupa bukti atau saksi seperti artifact (fakta benda),
mentifact (fakta mental-kejiwaan), dan sociofact (fakta atau hubungan sosial)
termasuk dalam kebudayaan. Semua perwujudan berupa struktur dan proses kegiatan
manusia menurut dimensi ideasional, etis, dan estetis adalah kebudayaan
(Kartodirdjo 1992: 17, 176, 195, 199; Sjamsudin 2012: 252). Contoh buku sejarah
kebudayaan adalah Sejarah Pengantar Kebudayaan Indonesia karya Dr. R. Sukmono.
Berdasarkan wilayah antara lain
dikenal sejarah perkotaan, sejarah lokal, sejarah Indonesia, sejarah Asia
Tenggara, sejarah Asia, sejarah dunia. Tema-tema sejarah tersebut memiliki
konsep-konsep tersendiri yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya.
G. TUJUAN BELAJAR MASA LALU
Mempelajari
sejarah adalah mempelajari masa lalu. Namun, bukan berarti mempelajari masa
lalu tidak ada gunanya. Seringkali kita mendengar ungkapan ‘Belajarlah dari
sejarah’, Adanya kemiripan peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu
dengan peristiwa sejarah yang terjadi pada masa sesudahnya seharusnya membuat
kita lebih bijak dalam menyikapinya.
Di
dalam kisah sejarah terdapat nilai-nilai atau makna tertentu. Misalnya upaya
kerja keras, rela berkorban demi nusa bangsa para tokoh sejarah. Dalam hal ini
sejarah dapat memberikan inspirasi bagi kita.
Berikutnya
dalam mempelajari sejarah kita memperoleh kesenangan berupa lawatan spiritual
ke masa silam. Dengan membaca buku sejarah, kita dapat melihat dan mengetahui
berbagai peninggalan unik serta peradaban masa silam. Di sini sejarah memberikan
nilai guna kesenangan (rekreatif) bagi mereka yang mempelajarinya (Munajat
2004:5)
Sejarah
tidak hanya memiliki nilai guna secara teoritis, tetapi juga memiliki kegunaan
praktis. Kegunaan sejarah secara praktis dapat dibagi dua yaitu tujuan secara
intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik, sejarah berguna untuk pengetahuan.
Secara intrinsik ada empat guna sejarah yaitu sejarah sebagai ilmu, sejarah
sebagai cara mengetahui masa lampau, sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan
sejarah sebagai profesi (Kuntowijoyo 2001:20)
Tujuan
belajar sejarah juga berkaitan dengan pengembangan pengetahuan, pemahaman,
wawasan mengenai berbagai peristiwa yang terjadi baik di tanah air maupun di
luar tanah air, pengembangan sikap kebangsaan dan sikap toleransi.
Secara ekstrinsik sejarah dapat
digunakan sebagai liberal education yang mempersiapkan pelajar secara
filosofis. Di sini sejarah memiliki manfaat untuk pendidikan moral, pendidikan
penalaran, pendidikan politik, pendidikan kebijakan, pendidikan perubahan, pendidikan
masa depan, pendidikan keindahan. Sejarah dipelajari karena keinginan untuk
meneladani moral yang dijunjung para tokoh, pelaku sejarah dalam kisah sejarah.
Ada pula yang mempelajari sejarah karena berhubungan dengan penalaran di mana
setiap peristiwa sejarah memiliki multidimensi baik berupa pendorong terjadinya
peristiwa maupun proses terjadinya peristiwa.
Di lain sisi pemahaman atas
peristiwa sejarah dimanfaatkan untuk kepentingan politik, mengkaji suatu
kebijakan, memahami perubahan, merancang atau merencanakan sesuatu untuk masa
depan. Bagi disiplin ilmu lain, misalnya ilmu sosial, sejarah dapat digunakan
sebagai ilmu bantu untuk memahami suatu kondisi sosial yang menjadi bagian dari
suatu peristiwa di masa silam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 2001. Nasionalisme
& Sejarah. Bandung: Satya Historika.
Alfian, Ibrahim (eds.). 1992. Dari
Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Ali. R. Moh. 2005. Pengantar Ilmu
Sejarah Indonesia. diterbitkan pertama kali 1963 oleh Bharata Jakarta.
Yogyakarta: LKIS.
Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi
tentang Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Danandjaya, James. 1991. Folklor
Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Kartodirdjo, Sartono. 1992.
Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Kuntowidjoyo. 2001. Pengantar Ilmu
Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Febriyanti, Rosiana.2013. “Metode
Pembelajaran Sejarah” Republika 16 Maret Gardiner, Juliet (ed). 1988. What is
History Today...?. Hongkong: Macmillan Education.
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti
Sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Hassan, Hamid.S. 2010. “Pendidikan
Sejarah: Kemana dan Bagaimana? ” dalam Jurnal Pendidikan Sejarah AGSI. Jakarta:
Asosiasi Guru Sejarah Indonesia & Institut Sejarah Sosial Indonesia.
Kartodirdjo, Sartono. 1992.
Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu
Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Munajat, Ade. 2004. Sejarah 1.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Resink, G.J. 2012. Bukan 350 Tahun
Dijajah. Depok: Komunitas Bambu.
Sjamsudin, Helius. 2012. Metodologi
Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Soedjatmoko (ed). 1995.
Historiografi Indonesia. Sebuah Pengantar. Jakarta:Gramedia.
Swantoro, P. 2002. Dari Buku ke
Buku. Jakarta: KPG & Tembi.
Komentar
Posting Komentar